Kesenian
reyog begitu dicintai. Tidak hanya di Ponorogo, pun di luar daerah.
Reyog Simo Waseso buktinya. Grup reyog tersebut dari Bogor. Eksis sejak
1993, grup reyog tersebut berusaha ikut melestarikan reyog di kota
hujan, bersaing dengan kesenian lokal dan bertarung melawan dinginnya
perhatian pemda setempat. Enam kali ikut festival nasional di Ponorogo,
Simo Waseso kini banyak diisi anak muda.
HAMPIR
saban tahun, HUT Pemkot dan Pemkab Bogor dimeriahkan kesenian reyog.
Penampilan mereka selalu menjadi daya tarik warga. Uniknya, para pemain
bukan berasal dari Ponorogo. Hampir semuanya warga asli Bogor dan
sekitar. Sementara, warga bumi reyog bisa dihitung dengan jari. Itulah
grup reyog Simo Waseso. Berdiri sejak 1993, grup reyog asal Ciluar,
Bogor itu menjadi wadah warga Bogor belajar dan terjun dalam kesenian
asli Ponorogo itu. ‘’Meski pemainnya asli Sunda, kemampuan mereka juga
bagus dan tak kalah dengan pemain asli Ponorogo,’’ ujar Heru Susanto,
40, salah seorang perintis grup reyog Simo Waseso.
Klaim
Heru bukan tanpa alasan. Simo Waseso sudah enam kali ikut festival
nasional Ponorogo, sejak 2009 hingga 2014. Sayang, mereka belum pernah
menyabet gelar jawara. Tidak hanya itu, Simo Waseso juga sudah tak
terhitung tampil di berbagai kesempatan, menjadi hiburan di kota hujan.
Selain hajatan tahunan di lingkup pemda setempat, Simo Waseso juga rutin
tampil di daerah wisata paling populer di Bogor, yakni puncak. ‘’Animo
masyarakat Bogor terhadap reyog sangat bagus. Terlihat dari setiap
pementasan maupun yang ingin belajar,’’ terang Heru yang warga asli
Ciluar, Bogor itu.
Lahirnya
grup reyog Simo Waseso di tahun 1993 tak lepas dari latar belakang kedua
orang tua Heru yang asli Madiun. Meski tidak memiliki darah Ponorogo,
keduanya menyukai kesenian tersebut. Bahkan dulu, orang tua Heru dan
beberapa rekannya kerap main reyog ala kadarnya. Jika dadak merak
dihiasi ratusan helai bulu merak, lain halnya dengan dadak merak buatan
orang tua Heru. Dadak merak hanya dihias ratusan helai tali rafia.
‘’Waktu itu, beberapa teman bapak ada yang warga Ponorogo, dari Sambit
dan Sawoo. Mereka juga ikut-ikutan kami (membuat reyog),’’ kenangnya.
Semakin
banyak yang bersedia terlibat, wacana diseriusi. Heru dan kawan-kawan
pun mencari sponsor mendanai pendirian grup reyog. Saat itu, tidak ada
keinginan spesifik dari Heru dan yang lain dalam mendirikan grup reyog.
Mereka hanya menyukai dan tertarik untuk lebih mendalami kesenian
tersebut. Para pendiri juga mencari-cari nama untuk grup reyog. Sang
bapak lantas mengusulkan nama Simo Waseso. Maknanya, macan yang
mempunyai amanat. ‘’Nah, dari nama itu, amanat yang kemudian berusaha
diwujudkan adalah melestarikan kesenian reyog,’’ jelasnya.
Dari
mulut ke mulut, yang tertarik bergabung semakin banyak. Selain dari
warga setempat, sejumlah pedagang makanan asal Wonogiri hingga akhirnya
berkumpul 50 orang. Heru mengenang, kala itu mereka belajar otodidak
dari video. Khusus kendang, ada warga asal Tambakbayan yang membantu
mengajari. Sisanya, berbagai gerakan berusaha dikembangkan sendiri oleh
Heru dan kawan-kawannya. ‘’Tak diduga, ternyata bisa juga kami. Padahal
tidak belajar dari orang Ponorogo secara langsung. Hanya melalui
video,’’ sebutnya.
Simo
Waseso sempat vakum dari 1997 hingga 2002. Namun, dari vakumnya grup
reyog tersebut, justru Simo Waseso seolah terlahir kembali. Karena
vakum, sejumlah remaja dari luar direkrut ikut tampil. ‘’Para orang tua
mereka menyatakan lebih baik anaknya belajar seni seperti reyog daripada
terlibat gaya hidup negatif seperti narkoba atau tawuran,’’ terangnya.
Sayang,
meski terus berdiri hingga sekarang, Simo Waseso minim dukungan
pemerintah daerah setempat. Setiap kali mengikuti event di luar daerah,
Heru kerap meminta dukungan tapi bertepuk sebelah tangan. Mereka
berangkat didanai mandiri dari anggota, juga warga yang simpati.
‘’Selama ini pendanaan mandiri,’’ ujarnya.***(irw)
0 Response to "Belajar dari Video, Ikut Festival Biaya Sendiri"
Post a Comment